Monday, November 23, 2009

Mengapa BELAJAR FILSAFAT_Franz Guterres

Mengapa saya belajar Filsafat?

By Franz Guterres Alias Metakai

Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UNPAS Smst V

Pada dasarnya hinga saat ini filsafat masih dipandang dari berbagai sudut yang berbeda dan kadang-kadang diterapakan secara tidak tepat terutama dikalagan awam. Ada pihak yang memandang filsafat sebagai wacana yang tidak berhubugan dengan masalah kehidupan sehari – hari. Presepsi seperti ini dibicarakan di kalangan orang–orang khusus yang “gagal”. Dalam pemahaman ini filsafat tidak lain sebagai pertunjukkan absubd, tidak jelas arah dan tujuanya. Akan tetapi pemahaman filasafat seperti ini digunakan oleh mereka yang tidak mampu berfikir secara wajar, tepat, dan benar, juga sebagai tempat persembuyian ketidakmampuan intelektualnya. Akibat dari presepsi itulah filsafat menjadi pembicaraan yang tidak serius, ngelatur, tidak berjuang pangkal dan tidak berlandasan intelektual.

Presepsi tidak tepat tersebutlah mengambarkan seluruh presepsi tidak utuh tentang presepsi filsafat. Namun keseluruhan merupakan perbincangan filsafat pada sisi ekstrim.

Oleh karena itu, diperlukan pemahaman baku dengan sesuai dengan isi dan cara mengemukakan presepsi mengenai filsafat secara tepat berdasarkan pengertian, pemahaman dan defenisi yang jelas.

Banyak orang mengatakan bahwa filsafat seolah–olah merupakan perbincangan tentang agama, norma, nilai, dan moral sehinga ahli filsafat dianggap juga sebagai ahli dalam bidang agama,moral,budya,dan kesenian atau sastra merupakan permaslahan dari filsafat. Akan tetapi filsafat berbeda dengan agama ataupun permsalahan filsafat lainya.

Ada beberapa alasan yang mendasari pikiran saya kenapa saya harus berfilsafat :

sebenarnya setiap ada yang nanya saya bingung harus jawab apa, karena:
pertama. kalian serius nggak sih nanyanya? yakin mau jawaban panjang lebar kayak yang diterangkan sama dosen saya di depan kelas?
kedua. suer deh, nanya kenapa saya milih ikut kelas filsafat nggak bisa disamain dengan mood nanya saya udah makan apa belum yang selintas mirip basa-basi.
pada dasarnya hal – hal yang terjadi dalam kehidupan sehari – hari itu adalah hal yang mempertayakan apakah apa yang diutarakan oleh orang tersebut benar gak? Pasti gak? Tepat gak? Cara berpikirnya terarah gak? Hal – hal itulah yang membuat orang harus berlogika dan berepistemologi yang benar.

Alasan – alasan yang mendasari diantaranya adalah :

a) saya pilih ikut kelas filsafat bukan atas dasar motivasi prestasi apalagi untuk dijadikan profesi atau mungkin... saya krisis iman? saya nggak percaya tuhan lagi? saya agnostik? orang yang belajar filsafat sering dapat stereotipe begitu. krisis iman dan setengah gila. untungnya saya udah nggak peduli apa kata orang.

b) kenapa saya belajar filsafat adalah karena dalam filsafat tidak menyinggung atau membahas wahyu-wahyu dalam agama. filsafat tidak menilai wahyu dalam agama mana yang lebih benar atau mana yang salah. dalam kelas filsafat ada keindahan yang sesungguhnya.

c) saya punya banyak pertanyaan tapi saya tidak suka mikir. semua pasti setuju kalau mikir itu bikin capek. Dasar pertayaannya adalah"saya hidup mau ngapain sih?" atau "penting nggak sih punya duit banyak?" atau "kalau saya mati nanti saya pengen dikenang sebagai orang baik, bukan orang kaya raya, tapi jadi baik caranya gimana?"

Tapi, jangan heran, sebab filsafat ternyata mengajarkan kita untuk bertanya terlebih dahulu sebelum sampai di wilayah filsafat itu sendiri. Kalau kita sudah membuat satu pertanyaan penting dalam hidup kita, maka kita akan berjalan menuju wilayah filsafat dengan pasti. Jadi, sudahkah Anda membuat pertanyaan itu? ;-)
Misalnya begini. Apakah yang dinamakan blog itu?
Secara sederhana tentu kita dapat menjawab bahwa blog adalah "satu tempat di mana kita dapat berekspresi secara bebas di dunia digital". Atau, mungkin Anda punya jawaban ini, blog adalah "diari elektronik".

Nah, dari pertanyaan sederhana tentang blog saja kita sudah mendapat dua jawaban yang berbeda. Jawaban pertama kayaknya terlalu formal, dan jawaban yang kedua lebih mudah kita ingat. Ini sudah menimbulkan sedikit masalah sebenarnya, karena kita mungkin bingung untuk memilih jawaban yang pertama apa jawaban kedua. Atau, malah Anda punya jawaban lain?
Bertambahnya jawaban, walaupun hanya satu, menandakan bahwa pikiran kita yang bingung mulai berkembang untuk mengatasi masalah tersebut. Ada jawaban A, B, hingga Z mungkin. Oleh karenanya, dibutuhkan kemauan dan kesanggupan kita untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam konteks ini, filsafat sebenarnya membantu kita untuk menata persoalan. Dalam kasus di atas, kalau kita memiliki jawaban lain yang mengatakan bahwa blog itu adalah "cara baru untuk bertegur sapa", kenapa ga kita coba aja membandingkannya dengan jawaban di atas.


Blog adalah "satu tempat di mana kita dapat berekspresi secara bebas di dunia digital".

Blog adalah "diari elektronik".

Blog adalah "cara baru untuk bertegur sapa".

Tiga pengertian ini kalau kita ambil yang pokoknya akan terdiri dari beberapa istilah penting, yaitu: "tempat", "ekspresi", "bebas", "dunia digital", "diari", "elektronik", "cara", dan "tegur sapa". Istilah-istilah ini kan bisa kita rangkai lagi menjadi pengertian baru menjadi:

Blog adalah "cara berekspresi di dunia digital atau diari yang kita buat secara elektronik dan menjadi tempat untuk bertegur sapa dengan bebas".

Nah lho! Muncul deh jawaban baru yang merangkum semua jawaban. Inilah gambaran sederhana bagaimana kita berfilsafat. Seperti yang sudah saya singgung dalam posting sebelumnya, filsafat itu adalah "cara untuk memahami sesuatu". Itu sudah kita terapkan pada langkah-langkah kita untuk menyarikan jawaban baru untuk pengertian blog dari tiga jawaban sebelumnya.

So, inilah salah satu alasan kenapa kita belajar filsafat. Kita kan butuh satu cara untuk lebih memahami masalah-masalah kita; memahami keluarga, saudara, kerabat, sahabat, teman, teman dekat, pacar, "selingkuhan" (ni kalo punya lho! tapi dilarang keras menggunakan filsafat untuk mendapatkan selingkuhan y? hehe ...), kolega, orang asing, orang utan, dan macam-macam orang yang sejenis dengan "manusia"; juga yang terpenting memahami tujuan hidup kita sendiri.

Pada tingkat yang lebih jauh, dengan belajar filsafat atau tepatnya belajar memahami secara lebih baik, kita tidak akan menjadi egois alias mengaku yang paling benar. Kalau ada di antara kita yang tukang nyalahin orang itu berarti dia belum belajar filsafat. Dia hanya "belajar teori filsafat". Jadi, maukah Anda belajar filsafat bersama saya?

Friday, November 13, 2009

MENGAPA BELAJAR FILSAFAT

MENGAPA BELAJAR FILSAFAT?

(Sebuah kajian prespektif singular empiris dalam berfilsafat)

Oleh: Kerytilo D. Pinto[1]

1)    Asal mula pengenalan istilah “Filsafat”

Awal ketika perkenalan pertama dengan istilah kata “Filsafat” dalam benak penulis langsung dihubungkan dengan sesuatu ilmu yang dipelajari oleh seorang yang belajar atau hendak menjadi seorang Pastor atau Pendeta (menjadi seorang imam atau misionaris) mengingat tempat pengalaman penulis masa kecil berasal dari negara yang mayoritas beragama Kristen (Timor-Leste).

Nah, Penulis juga pada umumnya atau kebanyakan orang merasa asing dengan filsafat. Jadi, bagi penulis juga bertanya filsafat itu ilmu apa, atau mengapa orang belajar filsafat? Apakah filsafat hanya diperuntukan bagi mereka yang hendak menjadi seorang misionaris? Atau apakah mungkin ketika orang bisa memahami hakakat hidup dengan belajar filsafat? Apakah orang  bisa bekerja dan mendapatkan karir yang bagus setelah belajar ilmu filsafat? Nah pertanyaan ini lah yang mendorong pribadi penulis ingin mencari tahu apa itu Ilmu filsafat?.

Bahkan selama masa kecil penulis yang dalam lingkungan kekristenan (secara agamawi) didorong untuk menjadi seorang penganut agama yang taat dan melaksanakan seluruh norma-norma agama itu. Dan dalam proses mengintegrasikan (proses sosialisasi) norma-norma agama tersebut dalam nilai-nilai, sikap dan prespektif penulis sendiri justru memunculkan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang kadang kala tidak mencapai titik kepuasaan dari jawaban-jawaban yang didapat, seperti contoh Siapa itu Tuhan? yang kemudian dalam ajaran Agama Kristen mengatakan bahwa bahwa “alam semesta  itu diciptakan dan manusia dijadikan dan bahkan bertanya siapa itu Iblis (setan) itu dan mengapa dia ada? Bahkan lebih membuat penulis menilai akan keterbatasan dalam bertanya adalah apakah hakekat manusia itu sehingga  menjadi mahkluk yang sangat mulia yang memiliki hati, pikiran dan tindakan?

Dari pertanyaan reflektif pribadi penulis tersebut ternyata kalau di hubungkan dengan sejarah kefilsafatan dikalangan filsuf justru ada korelasinya dengan pertanyaan-pertanyaan klasik yang mendorong manusia untuk berfilsafat, yaitu: pertama, kekaguman atau keheranan; kedua, keraguan atau kegensian; ketiga, kesadaran akan keterbatasan. Pada umumnya seorang filsuf mulai berfilsafat karena adanya rasa kagum atau adanya rasa heran dalam pikiran  filsafat itu sendiri. Dalam hal ini oleh Plato (filsuf Yunani) menyatakan : “Mata kita memberi pengamatan  bintang-bintang, matahari dan langit.  Pengamatan ini memberi dorongan kepada kita untuk menyelidiki dan dari penyelidikian ini berasal filsafat.” [2]

Demikian juga Agustinus dan Rene Descrates memulia berfilsafat  bukan dari kekaguman atau keheranan akan tetapi  mereka berfilsafat dimulai dari keraguan atau kesangsian sebagai sumber utama berfilsafat.

Sehingga penulis sependapat bahwa ketika rasa heran dan keraguan yang kemukakan oleh ketiga filsuf terebut diatas  mendorong manusia untuk berpikir lebih mendalam, menyeluruh dan kritis untuk memperoleh kepastian dan kebenaran yang hakiki.  Maka inilah yang disebut dengan “Berfilsafat”.

Berfilsafat  dapat pula bermula dari adanya suatu kesadaran akan keterbatasan pada diri manusia. Berfilsafat kadang-kadang dimulai apabila manusia menyadari bahwa dirinya sangat kecil dan lemah terutama didalam menghadapi kejadian-kejadian alam.

2)    Tangapan Umum tentang FIlsafat

Ada banyak mahasiswa yang masuk perguruan tinggi tidak (kurang) mengenal ilmu filsafat. Bahkan meskipun anak-anak Sekolah Menengah Umum (SMU) memiliki kemampuan yang memadai untuk mempelajari filsafat, kesempatan jarang sekali diberikan pada mereka. Jadi, mudah dipahami jika kesan mahasiswa pada umumnya tentang filsafat, sebuah kesan yang juga tertanam luas dalam masyarakat umum, adalah bahwa mereka tidak mengerti (uninformed) atau  menyalahpahami (misinformed) ilmu filsafat. Mereka mungkin bertanya: “Mengapa dan untuk apa saya harus belajar filsafat?”.

Seperti contoh pada umumnya kata “Filsafat” sering dan hanya diasosiasikan (dipautkan) dengan hal-hal yang abstrak, atau tidak konkrit, yang transeden (diluar segala kesangupan manusia), yang imaginer (hanya terdapat dalam angan-angan atau bukan sebenarnya), fantasi, lamunan dan sejenisnya bahkan segala sesuatu yang serba sukar. Jadi, kata Filsafat seolah-olah tidak mempunyai asosiasi dengan hal konkrit.

Namun, sehubungan dengan pertanyaan reflektif dari tulisan ini, penulis ingin menyampaikan secara hematnya bahwa secara hakiki ciri dan sifat “filsafat” tidaklah hanya mengandung pengertian seperti yang dipaparkan diatas tetapi justru berhubungan atau berkorelasi dengan hal-hal yang konkrit dan praktis pula. Artinya menyeluruh, mendasar dan spekulatif. Filsafat tidak hanya bersifat abstraktif tetapi juga konkrit. Filsafat tidak hanya teoritik, tetapi bersifat praktis pula. Karena filsafat berhubungan dengan kehidupan manusia sehari-hari, misalnya manusia, keluarga, masyrakat, Negara, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, teknologi, baik-buruk, benar salah, indah tidaknya dan sebagainya.

3)    Tujuan mempelajari Filsafat

Oleh karena itu, Berikut ini adalah pertimbangan yang bisa diajukan :

a)    Belajar “Filsafat” tentu akan membantu kita memahami bahwa sesuatu tidak selalu tampak seperti apa adanya.

b)    Belajar “Filsafat” membantu kita untuk mengerti tentang diri kita sendiri dan dunia kita, karena filsafat mengajarkan bagaimana kita bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: Siapakah diri saya?; Apakah Tuhan benar-benar ada? Bagaimana seharusnya saya hidup? Bagaimana seharusnya kehidupan bersama di atur? Haruskah saya mematuhi apa yang telah diatur dalam kehidupan masyarakat? Dapatkah saya meyakini kebenaran dari setiap kepercayaan yang saya anut? Apakah hidup saya berarti dan punya makna? Apakah nilai-nilai dan kepercayaan sebenarnya hanya merupakan sebuah opini? Apakah hakikat pikiran, bahasa dan gagasan?

c)    Belajar “Filsafat” membuat kita akan lebih kritis. Karena “Filsafat” mengajarkan pada kita bahwa apa yang mungkin kita terima begitu saja ternyata salah atau menyesatkan—atau hanya merupakan sebagian dari kebenaran.

d)    Belajar “Filsafat” juga merupakan bagian dari proses mengembangkan kemampuan kita dalam: Menalar secara jelas; Membedakan argumen yang baik dan yang buruk, Menyampaikan pendapat (lesan dan tertulis)  secara jelas; Melihat sesuatu melalui kacamata yang lebih luas, Melihat dan mempertimbangkan pendapat dan pandangan yang berbeda.

e)    Ketika kita belajar “Filsafat” kita akan mempelajari karya-karya para pemikir besar, para filsuf dalam sejarah dan tradisi filsafat, dan kita akan melihat betapa besar sesungguhnya pengaruh filsafat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, agama, pemerintahan, pendidikan dan karya seni.

f)     Kemudian “Filsafat” memberi bekal dan kemampulan pada kita untuk memperhatikan pandangan kita sendiri dan pandangan orang lain dengan kritis. Kadang ini memang bisa mendorong kita menolak pendapat-pendapat yang telah ditanamkan pada kita, tetapi filsafat juga memberikan kita cara-cara berfikir baru dan yang lebih kreatif dalam mengahadapi masalah yang mungkin tidak dapat dipecahkan dengan cara lain. 

4)    Pengertian Filsafat

Ketika kita memutuskan untuk mau belajar FIlsafat maka setidaknya pertanyaan dasar adalah pengunaan “kata” dan “makna kata” sangat penting dipahami. Kadang orang sering mengunakan istilah filsafat namun kadang salah memahami istilah tersebut. Oleh karena itu sebaiknya kita harus menelusuri asal kata secara etimologi maupun secara terminologi.

Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani”Philosophia” yang dalam yang dalam perkembangan berikutnya dikenal dalam bahasa lain yaitu:Philoshopie (Jerman, Belanda dan Prancis); Philosophy (Inggris), Philosophia (latin); dan Falsafah (Arab)[3]. Pengertian Filsafat berdasarkan asal kata tersebut akan menghasilkan pengertian yang berbeda-beda dalam makna yang tidak hakiki, jadi perbedaan tersebut hanya bersifat gradual (tingkat Perubahan) saja. Tetapi aktivitas akal budi yang dilakukan oleh filsuf yang berupa Philosopein umumnya memilki dua unsure pokok , yaitu: Pertama, Philien dan Shopos dan kedua, Philos dan Sophia.

Artinya kedua ke kelompok tersebut mencari akar pengertian istilah tersebut dapat diurai sebagai berikut: Pertama, Unsur Philien dan Sophos;Philien” berarti mencintai, dan “Shopos” berarti bijaksana. Istilah Philosphia dengan akar kata Philien dan Shopos berarti “mencintai akan hal-hal yang bersifat bijaksana. Kedua, Unsur Philos  dan Sophie; Philos berarti kawan dan Shopie berarti kebijakan. Philoshophia berarti kawan kebijaksanaan. Philosophie menurut arti katanya adalah cinta akan kebijakasanaan dan berusaha untuk memilikinya.

Secara Etimologi (cabang ilmu bahasa yang yang menyelidiki asal usul kata serta perubahan dalam bentuk dan makna[4]) istilah filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu Falsafah. Ada pula yang berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari bahasa Inggris “Philosophy”. Kedua istilah tersebut berakar kepada bahasa Yunani  yaitu “Philosophia”. Istilah terebut memiliki dua unsure  asasi, yaitu: “Philein”  dan “Shopia”. Philein berarti Cinta dan Shopia berarti kebijaksanaan.

Secara Terminologi (Ilmu mengenai batasan atau definisi istilah[5]) para filsuf merumuskan pengertian “Filsafat” sesuai dengan kecendrungan pemikiran kefilsafatannya masing-masing yang dimilkinya. Berikut ini pengertian Filsafat menurut beberapa filsuf:

a)    Plato, Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran asli.

b)    Aristoteles, Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika (Filsafat keindahan).

c)    Al Farabi, Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) tentang alam maujud bagaimana hakikat yang sebenarnya.

d)    Rene Descrates, Filsafat adalah segala pengetahuan dimana Tuhan, Alam dan Manusia menjadi pokok penyelidikan.

e)    Imanuel Kant, Filsafat adalah Ilmu (pengetahuan) yang menjadi pokok pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup masalah epistemology (filsafat Pegetahuan) yang menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui? Masalah etika yang menjawab persoalan apa yang harus kita kerjakan? Masalah ke Tuhanan (keagamaan) yang menjawab persoalan harapan kita dan masalah manusia.

f)     Langeveld, Filsafat adalah berpikir tentang masalah-masalah yang akhir dan menentukan, yaitu masalah-masalah  yang mengenai makna keadaan, Tuhan keabadian dan kebebasan.

g)    Hasbullah Bakry, Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai Ketuhanan, Alam Semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakekatnya sejahu  yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu setelah mencapai pengetahuan itu.

Dari  rumusan tentang Filsafat diatas  ada prinsipnya adalah menegaskan bahwa filsafa adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatu  secara mendalam dan sungguh-sungguh, radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut.

5)    Apa yang dipelajari dari filsafat

Lalu, apakah yang dipelajari oleh filsafat? Sehingga kita tidak hanya sekedar tahu tetapi sadar kenapa kita perlu mengetahui apa yang kita ketahui. Pertanyaan inilah yang mendorong filsuf-filsuf dalam sejarah filsafat membagi enam persoalan pokok yang menjadi kajian perhatian, yaitu:

a)      Persoalan “Ada

Persoalan tentang “Ada” (being) menghasilkan cabang filsafat metafisika . istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu: meta berarti dibalik; dan Physika berarti benda-benda fisik. Pengertian dari Metafisika yaitu: kajian tentang sifat paling dalam dan radikal dari kenyataan. Metafisika merupakan salah satu cabang filsafat mencakup persoalan ontologis (Hakekat sgala sesuatu yang ada), kosmologi (teori tentang perkembangan kosmos/alam semesta sebagai suatu system yang teratur),  dan antropologis (Ilmu tentang manusia).

b)    Persoalan tentang Pengetahuan (Knowledge)

Persoalan tentang pengetahuan (knowledge) mengahsilkan cabang filsafat Epistemologi , yaitu: Filsafat Pengetahuan.  Epistemologi menkaji secara mendalam dan radikal tentang pengetahuan, struktur, methode, dan validitas pengetahuan.

c)    Persoalan tentang metode (Method)

Persoalan tentang metode menghasilkan filsafat Metologi.  Istilah ini berasal dari bahasa yunani, yaitu Metodos dengan unsure “Meta” berarti: cara, perjalanan, sesudah, dan “Hodos” berarti: cara perjalanan,arah.  Pengertian Metheoslogi secara umum, ialah kajian atau telaah dan penyusunan secara sistimatik dari beberapa prose’s dan asas-asa logis da percobaan yang sistimatis yang menuntun suatu penelitian dan kajian ilmiah atau sebagai penyusun struktur ilmu-ilmu vak (matakaliah)

d)    Persoalan tentang Penyimpulan (logika=hukum penyalaran)[6]

Persoalan tentang penyimpulan menghasilkan cabang filsafat  Logika (logis). Ilmu yang mempelajari methode-methode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah.

e)    Persoalan tentang Moralitas (Morality)

Persoalan  tentang Moralitas  menghasilkan cabang filsafat Etika (ethics). Istilah etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” yang berarti  ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan[7]. Etika  sebagai salah satu cabang dalam filsafat menghendaki adanya ukuran yang bersifat universal. Sehingga disebut juga sebagai filsafat Moral.

f)     Persoalan tentang keindahaan (asthetics)

Persoalan tentang keindahan menghasilkan cabang Filsafat Estetika (Asthetics). Yaitu kajian kefilsafatan yang mengkaji mengenai keindahan  dan ketidakindahan. Dalam pengertian yang lebih luas estetika merupakan cabang filsafat yang menyakut bidang keindahan atau sesuatu yang indah terutama dalam masalah seni dan rasa, norma-norma dalam nilai seni.

Dari 6 persoalan filfsat pokok diatas inilah yang mendorong berbagai cabang dalam ilmu filsafat. Seperti Loius O Katsoff menyebutkan 11 cabang Ilmu filsafat yaitu: Logika, metodologi, metafisika, epistemology, filsafat Biologi, filsafat antropologi, filsafat sosiologi, etika, estetika dan Filsafat agama; Plato mebagi filsfat hanya 3 yaitu: Dialetika, Fisika dan Etika; Aristoteles membagi Filsafat dalam 3 kategori pula yaitu: Logika, Filsafat Teoritis, dan Filsafat Praktis. Harry Hamersma, membagi cabang-cabang filsafat ada 10 yaitu: epistemologi, logika, Kritik ilmu-ilmu, Ontologi, teologi metafisika, antropologi, kosmologi, etika, estetika, dan sejarah. Dari beberapa ahli lainnya membagi cabang filsafat sesuai dengan pandagannya masing-masing, tetapi  uraiaan diatas cabang filsafat dapat dibagi dalam 16 cabang antara lain: logika, metafisika (ontology), epistemology, metologi, Etika, estetika, Filsafat antropologi, FIlsafat Biologi, Filsafat Agama, Filsafat Sosiologi, Filsafat Teoritas, Filsafat Praktis, Dialetika, Fisika, Matematika, dan sejarah Filsafat.

6)    Penutup

Jadi sebagai hemat penulis bahwa ketika kita belajar filsafat maka, sangat diharapkan mampu menjadikan “Filsafat” penting bagi setiap pendidikan yang berorientasi pada pembebasan dan juga dapat bermanfaat secara praktis.

Ketika kita belajar “filsafat” sungguh-sungguh akan memberikan pada kita  ketrampilan yang dapat ditularkan yang pada gilirannya sangat dihargai oleh lingkungan dimana kita berada baik orang-orang yang sebagai penyedia lapangan pekerjaan dalam bidang bisnis dan kehidupan professional maupun dalam berbagai sisi kehidupan misalanya keluarga, masyarakat, Negara, ekonomi, politik, hukum, pendidikan secara spesifik adalah dunia akademik.

Karena, kemampuan berfikir secara jernih, menalar secara logis, dan mengajukan dan menilai argumen, menolak asumsi yang diterima begitu saja, dan pencarian akan prinsip-prinsip pemikiran dan tindakan yang koheren—semuanya ini merupakan ciri dari hasil latihan dalam belajar berfilsafat.

Sebagian besar diantara mereka belajar filsafat juga mengembangkan karirnya di bidang lain seperti lembaga pemerintah, hukum, perbankan, komputer, media massa dan penerbitan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya yang semuanya membutuhkan kemampaun dalam berfikir.

Ada contoh Banyak tokoh internasional yang belajar filsafat : Woody Allen (Sutradara dan pelawak) ; Bill Clinton (mantan Presiden AS); Philip K. Dick (penulis fiksi ilmiah); Feodor Dostoevsky (penulis novel); David Duchovny (filsafat membawanya pada The X Files?); Carol Ann Duffy (penyair); T.S. Eliot (penyair; karya disertasinya adalah tentang filsafat F.H. Bradley); John Elway (pemain gelandang, Denver Broncos – mungkin disukai sejumlah  orang Amerika); Harrison Ford (aktor); Ivan Frolov (editor Pravda; filsuf dapat menjadi ahli propaganda yang baik...Goebbels mempelajarinya); Rebecca Goldstein (penulis novel; novelnya The Mind-Body Problem, sekarang dicetak, novel ini didasarkan pada pengelamannya sebagai mahasiswa doktor dalam ilmu filsafat di Princeton); Vaclav Havel (dramawan, mantan presiden Czechoslovakia; Bill Hicks (dikenal sebagai pelawak); Mark Hulbert (penulis kolom keuangan di majalah Forbes); Martin Luther King, Jr (pemimpin hak-hak sipil di AS); Aung San Suu Kyi (Pemimpin oposisi politik myanmar); Bruce Lee (ahli kung fu, aktor); Peter Lynch (salah satu menajer keuangan yang sangat sukses,. Pengarang buku yang yang sangat laris One Up on Wall Street); Romo  Franz Manges Susesno, Seorang Profesor Filsafat dari Sekolah Tinggi Filsfat Diryakara Jakarta serta mengajar di UI dan UNPAR serta Dosen tamu dalam Kursus Kelas Filsafat Paharayangan Bandung. dll





[1] Mahasiswa Hubungan Internasional, Fakultas FISIP UNPAS semester VII tahun 2009. Diskusi Kelas Filsafat Paharayangan September-Desember 2009.

 

[2] Sudarsono, 2008, “Ilmu filsafat”.Jakarta: Rineka Cipta. Hlm 2.

[3] Ibid, Hlm 10

[4] Departemen Pendidikan Nasional, 2008,  “Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-4, Jakarta:PT Gramedia Pustaka, hlm. 383.

[5] Ibid, Hlm, 1453.

[6] Mundiri, H., 2008. “Logika”, Jakarta: PT. Raja Grafindo, Hlm., 1-2.

[7] Bertens, K., 2005, “Etika”, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Hlm., 4.